Say No to Cinta SMA.. Yakin?! (Sebuah cerpen)

"Segala sesuatu akan ada saatnya, termasuk urusan percintaan karena muara jalinan asmara antara dua insan yang sesungguhnya adalah pernikahan, sesuatu yang diridloi Allah Swt. Jadi, anak sekolah belum saatnya berpacaran. Tidak ada gunanya. Hanya buang-buang waktu saja,” ujar orang tuaku tatkala aku mulai menginjak fase remaja, tepatnya waktu masuk SMP.

Kucerna nasihat orang tuaku, mencoba menggali makna lebih dalam tentang apa yang beliau katakan. Bukan hanya perkara dosa saja yang kupikirkan, tetapi lebih kepada efek pacaran ketika sekolah, apa maslahat dan mudharatnya.

Ternyata setelah kupikir-pikir, lebih banyak mudharatnya. Toh orang yang (semisal) aku pacari semasa sekolah belum tentu ia juga yang akan bersanding denganku di pelaminan kelak (Hihihiii geli sendiri aku ingatnya, kecil-kecil sudah mikir pacaran, bahkan menikah).

Kalau begitu, “Aku tidak akan berpacaran sebelum lulus SMA, aku ingin belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh, demi masa depanku, demi orang tuaku. Say no to cinta,” Itulah janji dalam diam yang secara tiba-tiba terpatri dalam sanubariku saat itu. Setidaknya janji itu dapat dengan mudah kupenuhi. Tidak ada pesona lawan jenis yang mampu menjebol dinding pertahanan hatiku, bahkan setiap sapaan dan ajakan beberapa remaja (lelaki) tanggung untuk berpacaran denganku juga dapat kutepis dengan cara yang baik. Namun, menginjak tahun kedua saat SMA keteguhan itu mulai goyah....

***

Matahari baru beranjak dari peraduannya tatkala puluhan siswa kelas XI SMA Negeri Delta tengah bergerombol di depan sebuah papan pengumuman besar di depan ruang guru. Mereka berjejalan mengamati tiga belas lembar kertas yang ditempel di papan itu. Tiap lembar mewakili nama-nama siswa di satu kelas, sepuluh kelas jurusan IPA, 2 kelas untuk IPS, dan 1 kelas khusus jurusan bahasa.

Ya, hari ini formasi siswa kelas XI diumumkan. Yang kutahu pasti aku masuk jurusan IPA, tetapi aku tidak tahu di kelas mana namaku berada. Karena penasaran, aku memaksakan diri menyusup di antara hiruk pikuk dan euforia kawan-kawanku. Silang siku dan adu lengan di antara kami membuatku gagal menerobos dinding pertahanan puluhan tubuh tersebut. Perlahan namun pasti, aku semakin terdepak keluar rombongan. Secuil sudut kertas di papan itu bahkan tak nampak sedikitpun oleh mataku.

Aku memilih mundur dan berdiri sejauh 3 meter dari pusaran massa berbaju putih abu-abu tersebut, menunggu hingga mereka bubar satu per satu, lalu setelah itu aku akan dengan leluasa mengamati detail apa saja yang tertulis dalam kertas tersebut.

“Kamu sama aku, Ga. Kita satu kelas,” ujar Tania tiba-tiba dengan napas terengah-engah. Tubuh mungilnya baru saja meloloskan diri dari kerumunan heboh tersebut. “Kita di kelas XI IPA 1,” lanjutnya. Susah payah ia mengatur napasnya.

“Wah, makasih, infonya, Tan. Sama siapa saja?” tanyaku antusias.

“Ada aku, kamu, Aan, Blacky, Putri, Adrian, Doni..........................”

“Hah?! Doni? Wah senangnyaa...!” selorohku bersemangat.

“Heh, Ga! Kok Doni sih? Harusnya kamu senang karena kita satu kelas sama Adrian dong. Adrian, Ga. A-dri-an,” cerocos Tania sedikit heran bin kesal, di tengah upayanya mencari napas panjang.

“Aku nggak kenal sama dia, Tan. Lagipula, dia sudah disukai banyak cewek di sekolah. Males ah. Banyak saingan. Aku ngefans sama Doni aja yang belum terlalu terekspos hehe,” kilahku sambil berjalan menjauhi Tania. Sepintas kutengok Tania di belakangku, ia geleng-geleng kepala sebelum akhirnya melangkahkan kaki menyusulku.

*****

Adrian. Dia dulu berada di kelas X-8, sedangkan aku dan Tania di kelas X-1. Sebelumnya aku tidak tahu ada siswa bernama Adrian. Menurut info dari teman-teman cewekku, Adrian terbilang keren, jago basket, pintar, tertutup, dan juga cuek. Belum pernah ia terlihat jalan berdua dengan cewek. Gosip terkini menyebut bahwa ia juga masih jomblo. Mungkin itu merupakan salah satu daya tarik yang sukses membuat sebagian kaum hawa di sekolahku penasaran.  

Sebagian teman cewek di kelasku hampir menjerit histeris tatkala sesosok lelaki bernama Adrian lewat di depan kelasku. Kalau ada kawan cewekku tengah melotot sambil menutup mulutnya dengan satu tangan dan meracau tidak jelas, sementara tangannya yang lain sibuk menunjuk ke arah jendela, bisa dipastikan makhluk bernama Adrian tengah lewat di depan kelas. Dan lagi-lagi aku ketinggalan momen yang pas. Ketika kupalingkan pandangan ke arah jendela, aku hanya menemukan siluetnya saja. Adrian telah berlalu.

Dahlia kasihan melihatku. Ia tahu daya responsifku terhadap hal-hal seputar cowok-cowok keren sangat lemah. Masih perlu di-charge. Sebagai teman sebangku yang baik, akhirnya Dahlia lah yang berjasa memberitahuku sosok cowok bernama Adrian.

Ega! Sini, cepat!” teriak Dahlia memanggilku dari bangku di dekat jendela. Aku bergegas menghampirinya. Aku mencoba melihat keluar jendela. Ekor mataku mengikuti tangan Dahlia yang tengah menunjuk ke arah cowok-cowok yang sedang duduk di beranda masjid.

“Itu loh, anaknya,” katanya bersemangat sambil menempelkan telunjuknya hingga melengkung di kaca jendela.  

“Anaknya? Siapa?” ucapku bego. Tak mengerti dengan apa yang Dahlia maksud.

“Yeee... Adrian lah. Itu loh dia... yang pake kacamata. Keren kan?” ujarnya berseri.

“Ada dua yang pake kacamata. Yang mana nih?” aku benar-benar blank.

“Ampun deh.. Itu tuh, yang ganteng,” ucapnya sambil senyam-senyum. Ada nada riang dalam suaranya.

“Oh.. yang sedang membuka tali sepatu itu?”

“Iya,” Dahlia menyahut diiringi anggukan kepalanya. “Ganteng banget, kan?”

“Hmm.. Biasa aja. Cuma menang putih,” jawabku datar.

Egaaaaaa.. Cowok seganteng itu kamu bilang biasa aja??!!” sambar Dahlia cepat. Bola matanya hampir keluar dari tempatnya ketika menatapku.

Aku mengangkat bahu.

*****

Hari ini adalah hari pertama kami di kelas yang baru, XI IPA 1. Pelajaran pertama dan kedua diisi oleh wali kelas kami, Pak Purnama. Arahan, wejangan, perkenalan, serta pembentukan pengurus kelas dilaksanakan pada jam ini. Dengan khidmat kami mendengarkan penjelasan bapak guru sekaligus orang tua kami di kelas ini. Sesekali kami juga nyeletuk menanggapi perkataan beliau dengan gaya dan banyolan khas kami sebagai remaja.

Kemudian menginjak pelajaran ke-3 dan ke-4: Biologi. Bu Murni, Guru Biologi kami, menyuruh kami untuk membentuk kelompok yang terdiri dari 4–5 orang. Dari bangku nomor 2 dari belakang, aku bisa memperhatikan bahwa seisi kelas tergopoh-gopoh mencari pasangan kelompok. Ada yang masih terlihat kaku, canggung, dan malu. Namun, ada juga yang dengan percaya dirinya langsung melobi kawan yang lain.

Aku dan Tania, teman sebangkuku, termasuk tipe manusia yang malu-malu kucing. Agak lama kami baru berani bertindak setelah beberapa saat rasa malu dan bingung sukses membungkam mulut kami. Begitu mulai bernegosiasi dengan kawan yang lain, eh.. ternyata mereka sudah punya kelompok sendiri.

“Aduh, Ga.. Kita nggak dapat kelompok nih,” ujar Tania sedikit panik.

Aku menjawab tak sepatah kata. Sambil terus berharap, kuedarkan pandang mataku ke seluruh ruang kelas. Lalu secara tidak sengaja kulihat sepasang mata dari bangku depan tengah menatapku. Mata Adrian!

Aku balas menatapnya. Datar. Tidak ada reaksi apa-apa darinya. Sepatah kata pun tak keluar dari bibirnya. Ia sekadar menatap. Tetapi aku melihat ada yang berbeda dengan tatapannya. Ada sesuatu yang lain. Dan... Ya Tuhan... Aku mengangguk!

Aku menghadap Tania dan berkata,

“Tan, kita sekelompok sama Adrian....”

“Hah?! Satu kelompok sama Adrian? Yang bener, Ga? Memangnya kapan kamu ngomong sama dia?” tanya Tania tak percaya. Ia memandang ke arah Adrian.

Aku terdiam. Bingung menjelaskannya. Aku sendiri agak takjub dengan hal ini. Ini adalah momen pertama kami ‘berkomunikasi’. Dan sampai detik ini pun, perasaanku masih biasa-biasa saja ke Adrian. Begitu juga dengan sikap Adrian terhadapku—yang menurutku—terlampau cuek, persis seperti apa yang dikatakan oleh teman-teman cewekku selama ini. Namun bagiku, tak jadi soal dia cuek atau tidak, tidak ada pengaruhnya buatku. Yang penting aku jangan sampai ikut-ikutan cuek seperti dia. Aku harus bersikap seperti biasa, bersikap seramah mungkin kepadanya, juga kepada kawan-kawanku yang lain, seperti biasanya.

Lambat laun akhirnya kurasakan sikap Adrian mulai berubah terhadapku. Ia menjadi tak secuek atau sedingin dulu, sikapnya mulai melunak. Ia menjadi ramah dan hangat kepadaku, bahkan sering kuperhatikan ia tertawa lepas saat bercanda denganku, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Dari hari ke hari, dapat dipastikan, komunikasi kami semakin membaik.

Beberapa teman sekelasku turut membaca sikap Adrian kepadaku belakangan ini sehingga kasak-kusuk kalau Adrian suka aku sempat terdengar juga olehku. Bahkan seorang karib yang sudah mengenalku sejak SMP dan kini satu SMA walau beda kelas pun turut berkomentar.

Ga, kayaknya Adrian naksir kamu deh.” Kata Diane, siswa kelas XI IPA 3.

“Naksir? Masa’ sih? Emang kenal sama Adrian?” jawabku antara penasaran, tak percaya, sekaligus deg-degan.

“Hehe nggak kenal sih. Yaa, sebelumnya sih juga belum pernah ngobrol karena dia kan pendiem gitu orangnya. Tapi aku berani-beraniin ngobrol sama dia kemarin waktu les bimbel sebab aku penasaran sama dia. Beberapa teman cewek di kelasku pada tertarik gitu sama dia, suka ngomongin dia. Dia kan pinter, ganteng, jago basket, jomblo pula. Jadi, aku pengen cari tahu siapa, atau tipe cewek seperti apa yang dia suka. Nah, terus aku sebutin deh semua nama cewek cantik bin pintar di sekolah kita. Ehh.. Dia nggak respons. Aku hampir mati gaya deh waktu itu. Untung kemudian aku inget sama kamu. Kusebut deh namamu, eh pas aku nyebut namamu, muka dia langsung merah, Ga. Terus dia senyum dan ketawa-ketiwi gitu. Kan itu berarti kamu ada dalam pikirannya, Ga,” Diane berkata penuh semangat.

“Yee.. Kalau itu sih belum tentu naksir. Bisa saja karena dia ingat salah satu kekonyolanku yang bikin dia geli,” aku mencoba berkilah kendati kurasakan degup jantungku semakin cepat, hatiku berdebar-debar. Tanpa kusadari, sebagian hatiku bersorak riang seakan setuju dengan apa yang Diane katakan. Adrian memang terlihat lepas saat bercanda denganku, bersikap sangat lembut, dan sangat menjaga perasaanku, entah aku yang ke-GR-an atau memang dia benar-benar menyukaiku.

Komunikasi yang semakin intens di antara kami membuatku semakin mengenalnya. Adrian termasuk tipe melankolis sejati. Adrian bergitu pendiam. Tidak banyak cingcong. Pekerjaannya selalu beres. Selain itu, ia juga tidak terlalu suka diekspos. Pemalu abis. Kalau suasana kelas lagi rame banget oleh segerombolan siswa, bisa dipastikan Adrian tidak masuk di dalamnya. Jangan mencarinya di sana karena ia pasti dengan tekun sedang duduk manis, asyik membacai diktat atau mengerjakan soal-soal pelajaran eksakta.

Adrian juga sangat teliti, sabar, dan perfeksionis. Pernah suatu kali saat berada di laboratorium biologi dengan bahasan ‘Sel’, tiap-tiap kelompok mendapatkan satu buah mikroskop cahaya untuk mengamati sel daun. Satu per satu dari kami berlima mencoba mengamati sel daun melalui mikroskop cahaya tersebut. Setelah mengutak-atik mikroskop selama 5 menit dengan tanpa hasil, akhirnya aku bosan dan menyerah.

Adrian kasihan melihatku. Diraihnya kembali mikroskop tersebut. Diutak-atiknya mikroskop tersebut sambil dipaskannya dengan cahaya dari luar ruangan. Aku heran melihatnya. Ia dengan sabar sanggup bertahan menghadapi mikroskop tersebut selama lebih dari lima menit, bahkan tanpa mengeluh sedikitpun. Ketika akhirnya usahanya berbuah manis, aku semakin menaruh hormat pada sosok lelaki satu ini.

Belakangan ini frekuensi kebersamaan kami juga meningkat seiring keterlibatan kami dalam ekskul Paskibraka beberapa bulan terakhir. Meski sudah ikut organisasi paskibraka, ia tetaplah Adrian yang pendiam, pemikir, dan sangat perfeksionis. Ia jarang menghabiskan jam istirahat paskibraka dengan mengobrol ataupun bercanda bersama dengan anggota paskibraka lainnya. Ia lebih sering memilih untuk kembali ke kelas dan membuka catatan-catatan, membaca buku, atau bertanya ke Fikri, teman sebangkunya, tentang pelajaran yang baru saja ia lewatkan karena berlatih paskib.

Alhasil, ia pun sering melewatkan jatah nasi bungkus makan siangnya saat jam istirahat paskib karena terburu-buru kembali ke kelas. Otomatis akulah orang yang menyerahkan jatah nasi bungkus Adrian saat tiba di kelas sebab hanya kami berdua dari kelas XI IPA 1 yang mengikuti paskibraka sekolah.

Adrian selalu menerima nasi bungkus yang aku berikan dengan ucapan terima kasih dan dengan tatapan mata yang tidak bisa kujelaskan. Aku tahu matanya berbicara, tetapi aku tidak terlalu menggubrisnya, aku khawatir itu hanya perasaanku semata. Adalah Afilia, teman sekelasku, yang dengan diam-diam turut memotret setiap momen pemberian nasi bungkus dariku ke Adrian.

“Wajah Adrian berubah setiap kali ia menerima nasi bungkus darimu, Ga. Wajahnya jadi gimana gituuu,” ucapnya. Aku kaget sebab Afilia ternyata juga memperhatikan ekspresi Adrian melalui wajahnya, sedangkan aku melalui matanya.. Astaghfirullah...

Meskipun begitu, Adrian bukan tanpa kekurangan. Ia juga punya beberapa sisi kelemahan. Salah satunya adalah ia sering tidak pede, grogi, gugup saat hendak tampil di depan (kelas).

Suatu kali pernah kudapati ia tertunduk, bingung ketika teman-teman yang lain, termasuk aku, memintanya maju untuk memecahkan satu soal matematika yang terbilang cukup sulit. Batinku mengatakan ia tertunduk bukan bingung karena tidak tahu jawabannya, tetapi lebih karena bingung menata hatinya agar yakin bahwa dia itu cukup percaya diri tampil di depan publik.

“Ayo Adriaaaan...., Adrian, ayo majuuuuu....” teriak seisi kelas.

Ia tetap bergeming, melihat kesana kemari, ke arah teman-temanku. Pada akhirnya, seperti yang ia lakukan pada jam pelajaran biologi waktu itu, ia menatapku. Tanpa suara. Tanpa kata-kata. Aku membaca sorot mata itu. Kali ini, sama seperti kala itu, aku mengangguk mantap. Ia meresponsnya dengan segera bangkit dari kursinya dan berjalan menuju papan tulis.

Deg. Aku terhenyak dalam hati. Oh, Adrian.. Mengapa kau memperlakukanku seperti ini? Apa yang kau lakukan dengan menatapku tanpa kata-kata justru membuatku semakin tersanjung. Kau menunjukkan kepercayaan yang begitu besar kepadaku. Justru dari kekuranganmu itu, aku merasa lebih dihargai, membuat diriku merasa lebih istimewa di hadapanmu. Hingga akhirnya tak dapat kumungkiri, sekeping hatiku mulai terusik.

Entah karena terbawa suasana atau karena memang naluriku sebagai wanita dewasa mulai berkembang, diam-diam aku semakin perhatian kepadanya. Aku suka ia berada di sampingku. Aku suka mendengar nada bicaranya. Aku suka memperhatikan gerak-geriknya. Aku suka merasakan getar halus suaranya saat ia berbicara dan sinar gugup matanya kala ia grogi sewaktu maju di depan kelas. Pendeknya, aku mulai tergila-gila pada Adrian.

Kebahagiaanku semakin membuncah ketika sedikit demi sedikit Adrian mulai menunjukkan keseriusannya kepadaku. Pelan-pelan ia semakin terbuka kepadaku. Pribadi tertutupnya sedikit demi sedikit tak lagi kutemukan. Ia bahkan pernah suatu kali meminta izin kepadaku untuk membonceng kawan wanita lain karena suatu hal. Oh, apa pula ini?

Tidak ada kata jadian, tidak ada kata pacaran, ataupun komitmen dalam bentuk apapun di antara kami. Tetapi ia memperlakukanku seperti ini, seolah-olah aku adalah wanita yang sangat disanjungnya. Parahnya lagi, aku menikmati cara Adrian memperlakukanku dan akupun tahu bahwa Adrian juga tahu kalau aku sama sekali tidak keberatan diperlakukan seperti itu. Aku sadar, dalam titik ini akalku tak lagi dominan. Ia takluk pada apa yang tengah kurasakan.

Hatiku makin tak karuan saat aku merasa kami begitu dekat setiap kali kami berbicara. Dan suatu hari ia mulai berani bicara di luar topik pembicaraan kami sebagaimana biasa, percakapan kami mulai merembet ke ranah pribadi! Siang itu hatiku berdebar 100x lebih kencang tatkala ia secara jujur mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Tiba-tiba aku merasa seperti tersengat sesuatu. Alarm di hatiku seakan menjerit-jerit. Suaranya bagai dentang lonceng yang mengingatkanku pada janjiku beberapa tahun yang lalu……

Comments