"Segala sesuatu akan ada saatnya,
termasuk urusan percintaan karena muara jalinan asmara antara dua insan yang sesungguhnya
adalah pernikahan, sesuatu yang diridloi Allah Swt. Jadi, anak sekolah belum saatnya
berpacaran. Tidak ada gunanya. Hanya buang-buang waktu saja,” ujar orang tuaku tatkala aku mulai menginjak fase remaja, tepatnya waktu masuk SMP.
Kucerna nasihat orang tuaku,
mencoba menggali makna lebih dalam tentang apa yang beliau katakan. Bukan hanya
perkara dosa saja yang kupikirkan, tetapi lebih kepada efek pacaran ketika
sekolah, apa maslahat dan mudharatnya.
Ternyata setelah kupikir-pikir,
lebih banyak mudharatnya. Toh orang yang (semisal) aku pacari semasa sekolah
belum tentu ia juga yang akan bersanding denganku di pelaminan kelak (Hihihiii
geli sendiri aku ingatnya, kecil-kecil sudah mikir pacaran, bahkan menikah).
Kalau begitu, “Aku tidak akan
berpacaran sebelum lulus SMA, aku ingin belajar dengan rajin dan
sungguh-sungguh, demi masa depanku, demi orang tuaku. Say no to
cinta,” Itulah janji dalam diam yang secara tiba-tiba terpatri
dalam sanubariku saat itu. Setidaknya janji itu dapat dengan mudah kupenuhi. Tidak
ada pesona lawan jenis yang mampu menjebol dinding pertahanan hatiku, bahkan setiap
sapaan dan ajakan beberapa remaja (lelaki) tanggung untuk berpacaran denganku juga
dapat kutepis dengan cara yang baik. Namun, menginjak tahun kedua saat SMA keteguhan itu mulai
goyah....
***
Matahari baru beranjak dari
peraduannya tatkala puluhan siswa kelas XI SMA Negeri Delta tengah bergerombol
di depan sebuah papan pengumuman besar di depan ruang guru. Mereka berjejalan mengamati
tiga belas lembar kertas yang ditempel di papan itu. Tiap lembar mewakili
nama-nama siswa di satu kelas, sepuluh kelas jurusan IPA, 2 kelas untuk IPS,
dan 1 kelas khusus jurusan bahasa.
Ya, hari ini formasi siswa kelas XI
diumumkan. Yang kutahu pasti aku masuk jurusan IPA, tetapi aku tidak tahu di
kelas mana namaku berada. Karena penasaran, aku memaksakan diri menyusup di
antara hiruk pikuk dan euforia kawan-kawanku. Silang siku dan adu lengan di
antara kami membuatku gagal menerobos dinding pertahanan puluhan tubuh
tersebut. Perlahan namun pasti, aku semakin terdepak keluar rombongan. Secuil sudut
kertas di papan itu bahkan tak nampak sedikitpun oleh mataku.
Aku memilih mundur dan berdiri
sejauh 3 meter dari pusaran massa berbaju putih abu-abu tersebut, menunggu
hingga mereka bubar satu per satu, lalu setelah itu aku akan dengan leluasa
mengamati detail apa saja yang tertulis dalam kertas tersebut.
“Kamu sama aku, Ga. Kita satu kelas,”
ujar Tania tiba-tiba dengan napas terengah-engah. Tubuh mungilnya baru saja
meloloskan diri dari kerumunan heboh tersebut. “Kita di kelas XI IPA 1,” lanjutnya. Susah
payah ia mengatur napasnya.
“Wah, makasih, infonya, Tan. Sama
siapa saja?” tanyaku antusias.
“Ada aku, kamu, Aan, Blacky, Putri,
Adrian, Doni..........................”
“Hah?! Doni? Wah senangnyaa...!”
selorohku bersemangat.
“Heh, Ga! Kok Doni sih? Harusnya kamu
senang karena kita satu kelas sama Adrian dong. Adrian, Ga. A-dri-an,” cerocos
Tania sedikit heran bin kesal, di tengah upayanya mencari napas panjang.
“Aku nggak kenal sama dia, Tan.
Lagipula, dia sudah disukai banyak cewek di sekolah. Males ah. Banyak saingan. Aku ngefans sama Doni aja yang belum terlalu terekspos hehe,” kilahku
sambil berjalan menjauhi Tania. Sepintas kutengok Tania di belakangku, ia geleng-geleng
kepala sebelum akhirnya melangkahkan kaki menyusulku.
*****
Adrian. Dia dulu berada di kelas X-8, sedangkan aku dan
Tania di kelas X-1.
Sebelumnya aku tidak tahu ada siswa bernama Adrian. Menurut info dari
teman-teman cewekku, Adrian terbilang keren, jago basket, pintar, tertutup, dan
juga cuek. Belum pernah ia terlihat jalan berdua dengan cewek. Gosip terkini
menyebut bahwa ia juga masih jomblo. Mungkin itu merupakan salah satu daya
tarik yang sukses membuat sebagian kaum hawa di sekolahku penasaran.
Sebagian teman cewek di kelasku
hampir menjerit histeris tatkala sesosok lelaki bernama Adrian lewat di depan
kelasku. Kalau ada kawan cewekku tengah melotot sambil menutup mulutnya dengan
satu tangan dan meracau tidak jelas, sementara tangannya yang lain sibuk menunjuk
ke arah jendela, bisa dipastikan makhluk bernama Adrian tengah lewat di depan
kelas. Dan lagi-lagi aku ketinggalan momen yang pas. Ketika kupalingkan pandangan
ke arah jendela, aku hanya menemukan siluetnya saja. Adrian telah berlalu.
Dahlia kasihan melihatku. Ia tahu daya
responsifku terhadap hal-hal seputar cowok-cowok keren sangat lemah. Masih
perlu di-charge. Sebagai teman
sebangku yang baik, akhirnya Dahlia lah yang berjasa memberitahuku sosok cowok
bernama Adrian.
“Ega! Sini, cepat!” teriak Dahlia memanggilku
dari bangku di dekat jendela. Aku bergegas menghampirinya. Aku mencoba melihat
keluar jendela. Ekor mataku mengikuti tangan Dahlia yang tengah menunjuk ke arah
cowok-cowok yang sedang duduk di beranda masjid.
“Itu loh, anaknya,” katanya bersemangat
sambil menempelkan telunjuknya hingga melengkung di kaca jendela.
“Anaknya? Siapa?” ucapku bego. Tak
mengerti dengan apa yang Dahlia maksud.
“Yeee... Adrian lah. Itu loh dia...
yang pake kacamata. Keren kan?” ujarnya berseri.
“Ada dua yang pake kacamata. Yang
mana nih?” aku benar-benar blank.
“Ampun deh.. Itu tuh, yang
ganteng,” ucapnya sambil senyam-senyum. Ada nada riang dalam suaranya.
“Oh.. yang sedang membuka tali
sepatu itu?”
“Iya,” Dahlia menyahut diiringi
anggukan kepalanya. “Ganteng banget, kan?”
“Hmm.. Biasa aja. Cuma menang putih,” jawabku datar.
“Egaaaaaa.. Cowok seganteng itu kamu bilang biasa
aja??!!” sambar Dahlia cepat. Bola
matanya hampir keluar dari tempatnya ketika menatapku.
Aku mengangkat bahu.
*****
Hari ini adalah hari pertama kami
di kelas yang baru, XI IPA 1.
Pelajaran pertama dan kedua diisi oleh wali kelas kami, Pak Purnama. Arahan,
wejangan, perkenalan, serta pembentukan pengurus kelas dilaksanakan pada jam
ini. Dengan khidmat kami mendengarkan penjelasan bapak guru sekaligus orang tua
kami di kelas ini. Sesekali kami juga nyeletuk menanggapi perkataan beliau
dengan gaya dan banyolan khas kami sebagai remaja.
Kemudian menginjak pelajaran ke-3
dan ke-4: Biologi. Bu Murni, Guru Biologi kami, menyuruh kami untuk membentuk
kelompok yang terdiri dari 4–5 orang. Dari bangku nomor 2 dari belakang, aku
bisa memperhatikan bahwa seisi kelas tergopoh-gopoh mencari pasangan kelompok. Ada
yang masih terlihat kaku, canggung, dan malu. Namun, ada juga yang dengan
percaya dirinya langsung melobi kawan yang lain.
Aku dan Tania, teman sebangkuku,
termasuk tipe manusia yang malu-malu kucing. Agak lama kami baru berani
bertindak setelah beberapa saat rasa malu dan bingung sukses membungkam mulut
kami. Begitu mulai bernegosiasi dengan kawan yang lain, eh.. ternyata mereka
sudah punya kelompok sendiri.
“Aduh, Ga.. Kita nggak dapat
kelompok nih,” ujar Tania sedikit panik.
Aku menjawab tak sepatah kata. Sambil
terus berharap, kuedarkan pandang mataku ke seluruh ruang kelas. Lalu secara
tidak sengaja kulihat sepasang mata dari bangku depan tengah menatapku. Mata
Adrian!
Aku balas menatapnya. Datar. Tidak
ada reaksi apa-apa darinya. Sepatah kata pun tak keluar dari bibirnya. Ia
sekadar menatap. Tetapi aku melihat ada yang berbeda dengan tatapannya. Ada
sesuatu yang lain. Dan... Ya Tuhan... Aku mengangguk!
Aku menghadap Tania dan berkata,
“Tan, kita sekelompok sama Adrian....”
“Hah?! Satu kelompok sama Adrian?
Yang bener, Ga?
Memangnya kapan kamu ngomong sama dia?” tanya Tania tak percaya. Ia memandang
ke arah Adrian.
Aku terdiam. Bingung
menjelaskannya. Aku sendiri agak takjub dengan hal ini. Ini adalah momen
pertama kami ‘berkomunikasi’. Dan sampai detik ini pun, perasaanku masih
biasa-biasa saja ke Adrian. Begitu juga dengan sikap Adrian terhadapku—yang
menurutku—terlampau cuek, persis seperti apa yang dikatakan oleh teman-teman
cewekku selama ini. Namun bagiku, tak jadi soal dia cuek atau tidak, tidak ada
pengaruhnya buatku. Yang penting aku jangan sampai ikut-ikutan cuek seperti dia.
Aku harus bersikap seperti biasa, bersikap seramah mungkin kepadanya, juga
kepada kawan-kawanku yang lain, seperti biasanya.
Lambat laun akhirnya kurasakan
sikap Adrian mulai berubah terhadapku. Ia menjadi tak secuek atau sedingin dulu,
sikapnya mulai melunak. Ia menjadi ramah dan hangat kepadaku, bahkan sering
kuperhatikan ia tertawa lepas saat bercanda denganku, sesuatu yang tidak pernah
ia lakukan sebelumnya. Dari hari ke hari, dapat dipastikan, komunikasi kami
semakin membaik.
Beberapa teman sekelasku turut
membaca sikap Adrian kepadaku belakangan ini sehingga kasak-kusuk kalau Adrian
suka aku sempat terdengar juga olehku. Bahkan seorang karib yang sudah
mengenalku sejak SMP dan kini satu SMA walau beda kelas pun turut berkomentar.
“Ga, kayaknya Adrian naksir kamu deh.” Kata Diane, siswa kelas XI IPA 3.
“Naksir? Masa’ sih? Emang kenal
sama Adrian?” jawabku antara penasaran, tak percaya, sekaligus deg-degan.
“Hehe nggak kenal sih. Yaa,
sebelumnya sih juga belum pernah
ngobrol karena dia kan pendiem gitu orangnya.
Tapi aku berani-beraniin ngobrol sama
dia kemarin waktu les bimbel sebab aku penasaran sama dia. Beberapa teman cewek
di kelasku pada tertarik gitu sama
dia, suka ngomongin dia. Dia kan
pinter, ganteng, jago basket, jomblo pula. Jadi, aku pengen cari tahu siapa, atau tipe cewek seperti apa yang dia suka.
Nah, terus aku sebutin deh semua nama
cewek cantik bin pintar di sekolah kita. Ehh.. Dia nggak respons. Aku hampir
mati gaya deh waktu itu. Untung
kemudian aku inget sama kamu. Kusebut
deh namamu, eh pas aku nyebut namamu,
muka dia langsung merah, Ga.
Terus dia senyum dan ketawa-ketiwi gitu.
Kan itu berarti kamu ada dalam pikirannya, Ga,” Diane berkata penuh
semangat.
“Yee.. Kalau itu sih belum tentu naksir. Bisa saja karena
dia ingat salah satu kekonyolanku yang bikin dia geli,” aku mencoba berkilah
kendati kurasakan degup jantungku semakin cepat, hatiku berdebar-debar. Tanpa
kusadari, sebagian hatiku bersorak riang seakan setuju dengan apa yang Diane
katakan. Adrian memang terlihat lepas saat bercanda denganku, bersikap sangat
lembut, dan sangat menjaga perasaanku, entah aku yang ke-GR-an atau memang dia
benar-benar menyukaiku.
Komunikasi yang semakin intens di
antara kami membuatku semakin mengenalnya. Adrian termasuk tipe melankolis
sejati. Adrian bergitu pendiam. Tidak banyak cingcong. Pekerjaannya selalu
beres. Selain itu, ia juga tidak terlalu suka diekspos. Pemalu abis. Kalau suasana kelas lagi rame
banget oleh segerombolan siswa, bisa dipastikan Adrian tidak masuk di dalamnya.
Jangan mencarinya di sana karena ia pasti dengan tekun sedang duduk manis,
asyik membacai diktat atau mengerjakan soal-soal pelajaran eksakta.
Adrian juga sangat teliti, sabar,
dan perfeksionis. Pernah suatu kali saat berada di laboratorium biologi dengan
bahasan ‘Sel’, tiap-tiap kelompok mendapatkan satu buah mikroskop cahaya untuk
mengamati sel daun. Satu per satu dari kami berlima mencoba mengamati sel daun
melalui mikroskop cahaya tersebut. Setelah mengutak-atik mikroskop selama 5
menit dengan tanpa hasil, akhirnya aku bosan dan menyerah.
Adrian kasihan melihatku. Diraihnya
kembali mikroskop tersebut. Diutak-atiknya mikroskop tersebut sambil
dipaskannya dengan cahaya dari luar ruangan. Aku heran melihatnya. Ia dengan sabar
sanggup bertahan menghadapi mikroskop tersebut selama lebih dari lima menit,
bahkan tanpa mengeluh sedikitpun. Ketika akhirnya usahanya berbuah manis, aku
semakin menaruh hormat pada sosok lelaki satu ini.
Belakangan
ini frekuensi kebersamaan kami juga meningkat seiring
keterlibatan kami dalam ekskul Paskibraka beberapa bulan terakhir. Meski sudah
ikut organisasi paskibraka, ia tetaplah Adrian yang pendiam, pemikir, dan
sangat perfeksionis. Ia jarang menghabiskan jam istirahat paskibraka dengan
mengobrol ataupun bercanda bersama dengan anggota paskibraka lainnya. Ia lebih sering
memilih untuk kembali ke kelas dan membuka catatan-catatan, membaca buku, atau
bertanya ke Fikri,
teman sebangkunya, tentang pelajaran yang baru saja ia lewatkan karena berlatih
paskib.
Alhasil, ia pun sering melewatkan
jatah nasi bungkus makan siangnya saat jam istirahat paskib karena terburu-buru
kembali ke kelas. Otomatis akulah orang yang menyerahkan jatah nasi
bungkus Adrian saat tiba di kelas sebab hanya kami berdua dari kelas XI IPA 1 yang mengikuti
paskibraka sekolah.
Adrian selalu menerima nasi bungkus
yang aku berikan dengan ucapan terima kasih dan dengan tatapan mata yang tidak
bisa kujelaskan. Aku tahu matanya berbicara, tetapi aku tidak terlalu
menggubrisnya, aku khawatir itu hanya perasaanku semata. Adalah Afilia, teman sekelasku, yang
dengan diam-diam turut memotret setiap momen pemberian nasi bungkus dariku ke
Adrian.
“Wajah Adrian berubah setiap kali
ia menerima nasi bungkus darimu, Ga.
Wajahnya jadi gimana gituuu,” ucapnya. Aku kaget sebab Afilia ternyata juga
memperhatikan ekspresi Adrian melalui wajahnya, sedangkan aku melalui matanya..
Astaghfirullah...
Meskipun begitu, Adrian bukan tanpa
kekurangan. Ia juga punya beberapa sisi kelemahan. Salah satunya adalah ia
sering tidak pede, grogi, gugup saat hendak tampil di depan (kelas).
Suatu kali pernah kudapati ia
tertunduk, bingung ketika teman-teman yang lain, termasuk aku, memintanya maju
untuk memecahkan satu soal matematika yang terbilang cukup sulit. Batinku
mengatakan ia tertunduk bukan bingung karena tidak tahu jawabannya, tetapi
lebih karena bingung menata hatinya agar yakin bahwa dia itu cukup percaya diri
tampil di depan publik.
“Ayo Adriaaaan...., Adrian, ayo
majuuuuu....” teriak seisi kelas.
Ia tetap bergeming, melihat kesana
kemari, ke arah teman-temanku. Pada akhirnya, seperti yang ia lakukan pada jam
pelajaran biologi waktu itu, ia menatapku. Tanpa suara. Tanpa kata-kata. Aku
membaca sorot mata itu. Kali ini, sama seperti kala itu, aku mengangguk mantap.
Ia meresponsnya dengan segera bangkit dari kursinya dan berjalan menuju papan
tulis.
Deg.
Aku terhenyak dalam hati. Oh, Adrian.. Mengapa kau memperlakukanku seperti ini?
Apa yang kau lakukan dengan menatapku tanpa kata-kata justru membuatku semakin tersanjung.
Kau menunjukkan kepercayaan yang begitu besar kepadaku. Justru dari
kekuranganmu itu, aku merasa lebih dihargai, membuat diriku merasa lebih istimewa
di hadapanmu. Hingga akhirnya tak dapat kumungkiri, sekeping hatiku mulai
terusik.
Entah karena terbawa suasana atau
karena memang naluriku sebagai wanita dewasa mulai berkembang, diam-diam aku
semakin perhatian kepadanya. Aku suka ia berada di sampingku. Aku suka
mendengar nada bicaranya. Aku suka memperhatikan gerak-geriknya. Aku suka merasakan
getar halus suaranya saat ia berbicara dan sinar gugup matanya kala ia grogi
sewaktu maju di depan kelas. Pendeknya, aku mulai tergila-gila pada Adrian.
Kebahagiaanku semakin membuncah
ketika sedikit demi sedikit Adrian mulai menunjukkan keseriusannya kepadaku.
Pelan-pelan ia semakin terbuka kepadaku. Pribadi tertutupnya sedikit demi sedikit
tak lagi kutemukan. Ia bahkan
pernah suatu kali meminta izin kepadaku untuk membonceng kawan wanita lain
karena suatu hal. Oh, apa pula ini?
Tidak ada kata jadian, tidak ada
kata pacaran, ataupun komitmen dalam bentuk apapun di antara kami. Tetapi ia
memperlakukanku seperti ini, seolah-olah aku adalah wanita yang sangat
disanjungnya. Parahnya lagi, aku menikmati cara Adrian memperlakukanku dan
akupun tahu bahwa Adrian juga tahu kalau aku sama sekali tidak keberatan
diperlakukan seperti itu. Aku sadar, dalam titik ini akalku tak lagi dominan.
Ia takluk pada apa yang tengah kurasakan.
Hatiku makin tak
karuan saat aku merasa kami begitu dekat setiap kali kami berbicara. Dan suatu
hari ia mulai berani bicara di luar topik pembicaraan kami sebagaimana biasa, percakapan
kami mulai merembet ke ranah pribadi! Siang itu hatiku berdebar 100x lebih
kencang tatkala ia secara jujur mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Tiba-tiba aku
merasa seperti tersengat sesuatu. Alarm di hatiku seakan menjerit-jerit. Suaranya bagai dentang
lonceng yang mengingatkanku pada janjiku beberapa tahun yang lalu……
Comments
Post a Comment