Seberapa Penting Publisitas Diri?

Satu dua tahun belakangan ini agaknya ada yang tidak beres dengan cara berpikirku. Aku menjadi semakin tidak percaya diri untuk mem-publish diriku di depan khalayak, utamanya menyerukan kepada dunia tentang karunia maupun prestasi diriku dan keluargaku. Seandainya orang sudah telanjur mengenalku, aku tetap tidak ingin menunjukkan sesuatu yang kuanggap sebagai pencapaian diri atau keberhasilanku, jika bisa dibilang seperti itu. Juga ku tak bernafsu menunjukkan garis nasab keluargaku, siapapun kami, seberapa populernya kami, atau seberapa berpengaruhnya kami dalam kehidupan hiruk pikuk dunia yang tak abadi ini. Meski pada kenyataannya kami memang bukan siapa-siapa.  

Semenjak teknologi dunia maya menjadi bagian yang akhirnya mau tak mau juga menyentuh sisi kehidupanku, aku, sebagaimana layaknya para manusia dewasa tanggung di sekelilingku yang baru melek internet pada saat itu, tergiur juga untuk melakoni satu kodrat titik lemah manusia yang haus akan pengakuan: bagaimana caranya agar terus eksis walau di dunia maya, agar semua orang mengenalku, agar manusia milenial yang super sibuk di dunia yang terus berputar ini berhenti sejenak dan menoleh ke arahku, lalu menyadari keberadaanku.  

Tatkala Facebook pertama kali menyapaku tepat satu dekade yang lalu, aku menyambut sapaan itu dengan sikap biasa saja. Kubiarkan ia lewat begitu saja. Tidak kugubris ajakannya untuk bergabung dengannya karena aku tak melihat keuntungan hakiki yang ia tawarkan. Yang kutahu, Facebook hadir dengan pesona yang menjanjikan ketenaran, paling tidak di lingkup sesama penggunanya.

Namun saat kutahu tak sedikit teman-temanku yang mulai berkawan akrab dengannya dan mengeruk keuntungan melalui eksistensi yang mereka dapatkan, tak urung juga membuatku terlena untuk mulai coba-coba menggabungkan diri dan menjadi bagian dari mereka. Secara lambat tapi pasti, kuterjerumus dalam rutinitas kurang berfaedah tetapi menyenangkan: mem-publish pencapaian diri dan karunia yang Tuhan beri, semata demi ingin mendapat apresiasi, puji-puji, serta jutaan likes dan comments dari komunitas dan jejaring yang kumiliki. Aku begitu menikmati ketenaran semu yang sesaat membuatku menjadi lupa diri. Aku mengalami amnesia sesaat: Amnesia akan jati diriku, amnesia akan hakikat diriku sebenarnya, dan amnesia terhadap ke-khalifah-anku.

Entah kapan mulainya atau pada saat apa mulanya kejemuan mem-publish diri sendiri melandaku, yang jelas lambat laun kegemaranku untuk menunjukkan eksistensiku melalui media maya menjadi tak segencar dulu, jauh sebelum lemak dalam tubuhku semakin menumpuk, jauh sebelum prestasi kedinasan maupun nonkedinasan yang lain masih menghampiriku, jauh sebelum jodohku datang, jauh sebelum hadirnya bayi mungil dalam kehidupan pernikahanku, jauh sebelum ujian-ujian yang lain menghiasi lika-liku keseharianku.  

Setiap hari kian kusadari ada yang tidak beres dengan cara berpikirku. Aku mengalami pergeseran sudut pandang. Dulu aku begitu memuja pengakuan dari orang lain, sekarang aku malu mendapatkan semua itu, apalagi dari orang sekeliling yang mengenalku. Aku malu memperoleh tepuk tangan, apresiasi, maupun decak kagum dari sesama manusia, utamanya orang yang kukenal. Kalaupun akhirnya mereka mengetahui pencapaianku, biarlah mereka tahu dari pihak lain tanpa aku berusaha memberitahukannya kepada mereka. Dengan begitu, andai mereka tahu sekalipun, itu bukan karena aku, tapi karena Tuhan telah menggariskan agar mereka tahu.

Namun, aku bukanlah manusia tanpa dosa, tanpa cela. Sesekali aku juga tergoda untuk mem-publish diri dan pencapaian yang Tuhan beri. Aku masih tetap melakukan publisitas tentang diriku, utamanya karya-karyaku, tulisan-tulisanku, buah pikirku sepanjang itu dapat dinikmati dan menjadi inspirasi bagi umat manusia yang lain. Meski begitu, tak jarang aku juga khawatir bahwa apa yang kulakukan tak lain akan berujung pada nafsu ingin dikenal dan disanjung. Tak ayal ini membuatku tercenung kadang-kadang, apakah betul, bahwa ada yang tidak beres dengan cara berpikirku? Atau itu hanyalah kesadaran baru yang menyeruak di tengah-tengah perjalanan kesadaran lama bahwa aku hanyalah manusia lemah yang sejatinya tidak punya apa-apa, yang semuanya ditopang atas kemurahan Tuhan, lantas untuk apa semua itu digembar-gemborkan, dipublikasikan? Lalu, apa namanya jika untaian aksara-aksara ini bukanlah jelmaan dari publisitas diri?

Comments