Antara Si Puasa, Si Sakit Tenggorokan, dan Si Petugas


Sumber:
https://konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2016/06/hukum-buka-warung-makan-ketika-puasa.jpg

Scene 1
Seseorang sedang sakit tenggorokan --> Ia diwajibkan untuk tidak minum es.
-->Faktanya, banyak penjual es yang tetap berjualan.
                                         
Scene 2
Seseorang sedang berpuasa (Romadhon) --> Ia diwajibkan untuk tidak makan/minum. 
--> Faktanya, banyak warung yang tetap buka (dan disuruh tutup oleh pihak tertentu).


Tergelitik oleh kebijakan yang kerap kali saya dengar, yaitu tentang penutupan warung-warung makanan pada jam-jam tertentu saat bulan Ramadhan yang menuai sejumlah kontroversi, saya mencoba merenung sejenak terkait hal tersebut. Bukan bermaksud untuk membenarkan atau mengecam kebijakan yang berlaku, tulisan ini dibuat secara sederhana untuk memahami salah satu hakikat/makna puasa itu sendiri.

Sebetulnya, saya juga belum fasih benar bicara soal agama walau sejak lahir saya sudah dilabeli ‘Islam’ oleh kedua orang tua saya (dan saya bersyukur juga karena itu). Kendati demikian, izinkanlah saya menyampaikan opini saya yang masih sangat dangkal ini… 

Entah sejak kapan kebijakan seperti itu dicanangkan, yang pasti fatwa yang tercetus dari mulut-mulut pihak yang menghendaki penutupan warung pun cukup elok, “Hormatilah orang yang sedang berpuasa”. Wow, tentu saja saya yang masuk dalam kelompok orang-orang berpuasa merasa gembira dengan tindakan itu. “Saya dihormati. Puasa saya bakal lebih fokus nih kalau gak ada jajanan yang kadang bikin mata dan perut saya keblinger.” Hehe

Namun ternyata, tidak semua warung mau mengamini kebijakan tersebut. Sebagian yang tetap nekat membuka warung beralasan bahwa mereka tidak mendapatkan cukup pemasukan kalau warung harus ditutup. Bahkan kadang kala mereka harus rela jejeritan dan beradu fisik dengan para petugas yang tengah melakukan sidak mendadak. Ini sungguh meresahkan.

Bah, ini sih namanya bagai makan buah simalakama. Warung ditutup salah, dibuka juga salah… Kira-kira begitu mungkin pikiran pemilik warung yang 100% menggantungkan keseharian ‘sesuap nasi’-nya dari warung (kecil) nya. Tapi anggapan seperti itu mungkin masih terbilang wajar. Yang justru lebih menyedihkan bin memprihatinkan lagi adalah ketika (jangan-jangan) bulan Ramadhan justru dianggap sebagai ‘momok’ (karena kurangnya pendapatan akibat tutupnya warung selama beberapa jam), dan bukan sebagai bulan yang penuh berkah. Duh, jangan sampai deh

Lebih-lebih, kalau semua warung harus tutup saat bulan Romadhon, orang lain yang sedang tidak berpuasa pun juga otomatis kena getahnya, apalagi ibu-ibu dan bapak-bapak pekerja yang lapak kerjanya nun jauh dari rumah. Sarapan susah, mau makan siang gak ada warung yang buka (ini nih dilema klasik kalau para ibu tidak sempat memasak dulu di rumah hehe. Pengalaman pribadi ya booo’ hihihi…).

Dampak positif-negatif dari anjuran penutupan warung selama bulan Ramadhan inilah yang secara tidak sengaja membuat saya menganalogikan (secara sederhana) hal ini dengan sakit tenggorokan. Pelakunya sama-sama ‘dilarang’, tetapi mengapa objeknya diperlakukan berbeda? Mengapa ini tidak berlaku (bagi penjual es) saat ada seseorang yang sedang sakit tenggorokan? Padahal orang yang sedang berpuasa dan orang yang sedang sakit tenggorokan sama-sama ‘menahan diri’ dari ‘sesuatu’ yang sangat diingininya. Bedanya, pelaku puasa dapat memilih berpuasa atau tidak, sementara ‘korban’ sakit tenggorokan tidak.

Jadi, ketika seseorang yang sedang sakit tenggorokan menjumpai penjual es, ia tetap bergeming. Seharusnya memang seperti itu. Gak ngaruh, karena niatnya memang ‘menahan diri’ dari minum es. Lalu, bagaimana dengan orang yang sedang berpuasa saat menjumpai warung-warung di pinggir jalan yang tengah asyik menjajakan makanannya? Seharusnya juga gak ngaruh ya, karena niatnya memang ‘menahan diri’ dari, salah satunya, makan dan minum. Lalu, mengapa warung-warung itu harus ditutup?

Saya pribadi juga kurang paham apa motif sesungguhnya dibalik ‘penyegelan’ sementara warung-warung di jam-jam tertentu saat bulan puasa selain motif ‘untuk menghormati orang yang sedang berpuasa’ (padahal siapa tahu sang pemilik warung yang tetap nekat membuka warungnya juga tengah berpuasa). Kalau memang seperti itu, berarti logikanya adalah orang yang berpuasa wajib dihormati. Betul begitu kan? Tapi, persoalannya apa itu benar? Apakah seperti itu yang diinginkan oleh Islam?

Pada dasarnya Islam memang menyerukan kebaikan. Menghormati orang yang sedang berpuasa adalah salah satu wujud kebaikan juga. Jadi tidak ada salahnya. Sampai di sini tidak ada masalah. Jadi, penjual makanan yang dengan sukarela menutup warungnya saat jam-jam puasa tentu tidaklah salah. Tindakan ini justru sejalan dengan kebijakan yang ada. 

Yang menjadi soal adalah mereka yang keberatan untuk melaksanakan ‘titah’ kebijakan tersebut. Mereka enggan menutup warung karena faktor pendapatan atau demi ‘bertahan hidup’. Inilah yang kemudian memicu timbulnya kontroversi, terlebih bentrok dengan petugas. Di satu sisi petugas menginginkan adanya penghormatan bagi si puasa, di sisi lain, para penjaja makanan tengah berjuang untuk ‘menyambung hidup’. Tentu dua-duanya ini benar, sama-sama mulia di hadapan Allah Swt., kira-kira begitulah yang ada di pikiran saya.

Karena baik si pemilik warung maupun si petugas sama-sama memiliki dasar tindakan yang baik, sekarang mari kita tengok si puasa, orang yang berpuasa. Apa kabar dengan si puasa? Apakah ia perlu penghormatan agar puasanya dapat berjalan dengan tertib dan lancar? Apakah dengan ditutup atau dibukanya warung-warung, hal itu dapat memengaruhi niat puasanya? Lunturkah niat puasanya mendapati warung-warung yang dengan mewahnya tengah menyajikan aneka khas jajanan dan makanan di pinggir jalan? Atau sebaliknya, semakin teguhkah niat puasanya manakala ‘godaaan mata’ tersebut tidak sempat dilihatnya?

Inna a’malu binniyat. Itulah inti dari semua tindakan ibadah. Apapun godaannya, hambatannya, kalau sudah dilandasi niat ya jalan aja. Kalau niatnya memang puasa lillahi ta’ala, apapun ‘kerikil-kerikil’ yang sempat menghadang, ya keep going on dong puasanya.. Betul gak?
Lalu mari kita pahami juga mengapa Allah Swt. menyuruh hamba-Nya untuk berpuasa (Ramadhan). Apa sih tujuannya?

Yap! tujuan utama puasa adalah untuk mencapai derajat ketakwaan. Ini nih, istilah ‘ketakwaan’ sempat membuat saja tercenung sejenak, berpikir mengenai apa itu ‘takwa’. Memori saya secepat kilat berlari ke masa-masa saya belajar sedikit ilmu agama beberapa (belas) tahun yang lalu. Seingat saya, garis besar dari takwa adalah melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Nah, lalu apakah penghormatan yang dialamatkan kepada si puasa secara serta merta dapat membuat si puasa mencapai derajat ketakwaan? Perlukah si puasa mendapat penghormatan? Hmm… 

Kalau pemikiran itu dibalik mungkin akan lebih tepat ke sasaran. Jadi begini, bagaimana kalau justru si puasa lah yang belajar menghormati, baik menghormati orang lain yang juga sedang berpuasa maupun yang tidak berpuasa? Bukankah menghormati orang lain juga merupakan salah satu wujud dari ketakwaan? Meskipun ukuran takwa atau tidaknya seseorang hanya Allah Swt. yang tahu, paling tidak dengan ikhlas berlaku santun (menghormati), seorang manusia seolah tengah berjuang untuk berbuat kebajikan, menjalankan perintah-Nya, apalagi kalau itu dilakukan secara terus-menerus (istiqomah).  

Jika pemikiran ini logis, berarti dapat ditarik salah satu pelajaran, bahwa artinya salah satu hakikat/makna berpuasa adalah pendidikan perilaku, yakni mendidik orang yang berpuasa menjadi pribadi yang lebih baik lagi untuk mencapai derajat ketakwaan yang hakiki. Dalam konteks ini, puasa mendidik orang yang berpuasa untuk mampu menghormati (orang lain) alih-alih meminta penghormatan dari orang lain. Singkat kata, dihormati ya syukur, tidak dihormati juga tidak apa-apa. Sebagaimana orang sakit tenggorokan yang ‘masa bodoh’ dengan penjual es, orang yang sedang berpuasa juga harus istiqomah berlaku baik, termasuk berperilaku menghormati, dengan buka atau tidak bukanya warung-warung penjual makanan di pinggir jalan.  :D 

Wallahu’alam bishowab

Comments