Apa sih ‘unlimited broken heart’ itu? Macam mana pula wujud unlimited broken heart dalam bidang karier/pekerjaan itu? Hehe. Biar
lebih paham, coba Sobat ikuti lebih dulu kuis di bawah ini untuk mengukur
peluang broken heart yang bercokol
dalam diri Sobat.
1.
Bagaimana perasaan Sobat apabila rekan
kerja Sobat mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi daripada Sobat?
a.
Tidak senang
b.
Biasa-biasa saja
c.
Turut berbahagia
2. Bagaimana
sikap Sobat kepada rekan kerja yang lebih senior?
a.
Meremehkannya
b.
Biasa-biasa saja
c.
Bersahabat
3. Bagaimana
sikap Sobat kepada rekan kerja yang lebih yunior?
a.
Meremehkannya
b.
Biasa-biasa saja
c.
Bersahabat
4. Bagaimana
sikap Sobat ketika tahu Sobat sedang digosipkan di kalangan rekan kerja?
a.
Marah
b.
Biasa-biasa saja
c.
Menegur mereka
5. Bagaimana
pandangan Sobat terhadap para magabuter alias pemakan gaji buta?
a.
Tidak senang
b.
Biasa-biasa saja
c.
Bersahabat
Jika mayoritas
jawaban Sobat adalah poin a maka ada sesuatu dalam diri Sobat yang perlu di-charge (hehehe) sebab peluang broken heart dalam diri Sobat sangat besar. Secara
tidak langsung, ini mengindikasikan bahwa Sobat adalah tipikal seseorang yang pesimis, memandang segala
sesuatu hanya
dari sisi buruknya saja. Apabila dibiarkan, tentu sikap seperti ini berdampak
buruk bagi Sobat karena akan menumbuhkan penyakit hati lainnya semisal dendam,
iri hati, benci, dan dengki.
Jika mayoritas
Sobat memilih poin b, maka bisa dipastikan bahwa Sobat adalah orang yang tidak
terlalu mengurusi kepentingan orang lain. Ini tentu saja lebih baik, namun dikahwatirkan bisa
jadi
Sobat kurang peka terhadap lingkungan sekitar.
Mayoritas
jawaban c menunjukkan bahwa Sobat merupakan seseorang yang bijak dan senantiasa
berpikiran positif, Selamat!J Sobat terbukti selalu ingin menjadi
bagian dari kebahagiaan seseorang. Sebaliknya, kelemahan yang ada pada diri
orang lain mendorong Sobat untuk membantu mereka mengasah kemampuannya.
Artinya, peluang unlimited broken heart
dalam diri Sobat terbilang kecil.
Apa
sih Unlimited Broken Heart itu?
Hi
guys,
pernah merasakan broken heart?
Bukan saja patah hati, melainkan sakitnya hati yang sebenarnya. Sakit hati karena tidak senang, merasa
tersinggung, atau terlukai oleh perkataan, sikap, maupun pikiran orang lain...
Haha, tidak usah
dijawab dengan lantang,
cukup dalam hati saja. Tanpa survei ilmiah
pun, kita semua tahu bahwa semua orang pasti pernah merasakannya. Ia eksis,
disadari ataupun tidak. Ia bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Oleh sebab
itu kita sepakat menamainya Unlimited Broken Heart.
Unlimited
broken heart bukan berarti sakit hati yang
berkepanjangan. Lebih jelasnya, sakit hati itu munculnya tidak terduga-duga. Pernahkah
Sobat merasa sakit hati justru di
saat-saat membahagiakan? Atau merasa sakit hati di tengah-tengah rasa
persaudaraan yang mendebarkan? Sebagian tentu menjawab “ya”. Nah, dengan demikian kita bisa
menyimpulkan lebih lanjut bahwa orientasi
unlimited broken heart itu terletak
pada ‘peluang’ munculnya sakit hati itu sendiri. Peluang sakit hati itu sama
dengan tak terhingga. Itulah mengapa dinamai
unlimited broken heart.
Bagi mayoritas
orang, sakit hati dianggap manusiawi. Semua orang pernah merasakannya. Mungkin,
sakit hati bisa dianggap sebagai salah satu properti manusia untuk menjaga rasa
kemanusiaannya. Ya, dengan sakit hati paling tidak manusia mengerti akan
sakitnya hati seseorang saat orang lain menyakiti perasaannya. Untuk
itulah—bagi mereka yang berpikir—Tuhan ‘menitipkan’ rasa sakit hati di hati
ciptaan-Nya yang paling sempurna agar setiap orang tidak sekali-kali bermaksud
menyakiti hati orang lain.
Karena kita
semua selalu berinteraksi dengan orang lain setiap harinya, maka peluang munculnya sakit hati tentu
bisa di mana saja dan dengan atau kepada siapa saja. Nah,
karena sifatnya yang luas, maka pada bahasan kita kali ini sakit hati yang
dimaksud lebih diarahkan pada satu sisi kehidupan manusia, yaitu dalam bidang karier/dunia kerja. Dalam menapaki jenjang
karier atau pekerjaan, tak jarang kita semua
(mungkin) pernah menemui berbagai macam kasus yang terkadang mampu menyulut
rasa sakit hati kita, seperti
penghargaan yang berbeda dari atasan, magabut alias makan gaji buta, dijadikan bahan gosip, dan
senior vs yunior.
Penghargaan yang Berbeda
Karier berhubungan dengan segala pencapaian
kita di dunia kerja, dalam usaha untuk memperoleh penghargaan berupa kenaikan
pangkat, bonus atau hanya sekadar pujian. Penghargaan tersebut dapat kita raih
dengan kerja keras, kreativitas, dan kepribadian yang matang. Sistem di dunia
kerja memiliki suatu hierarki yang membuat kita tersusun dalam suatu piramida
yang memiliki tanggung jawab serta penghargaan yang berbeda pula antara satu
dengan yang lainnya. Bahkan dalam satu level yang sama pun bisa jadi apresiasi
atau penghargaan yang didapatkan juga berbeda.
Perbedaan
penghargaan yang diterima mau tidak mau pasti membuat hati kita sedikit
terusik. Entah itu karena faktor orang lain lebih hebat dari kita atau karena
pemimpin yang “pilih kasih” sehingga tidak objektif melihat bawahannya. Masalah
penghargaan yang diterima karena prestasi kerja sebenarnya tergantung dari
pengalaman, kemauan dan kreativitas kita. Lantas, jika kita kurang kreatif dan
minim pengalaman, apakah kita patut sakit hati? Eits, sakit hati kepada siapa dulu nih? Sakit hati kepada mereka yang memiliki kemampuan lebih atau
sakit hati kepada diri sendiri yang memiliki kemampuan kurang? Haha..
Kalau dipikir, ga etis dong sakit hati ke mereka
karena kelebihan yang mereka miliki. Kan
setiap orang punya kelebihan masing-masing? Dan ga etis juga kalau kita sakit hati ke diri kita sendiri karena
ujung-ujungnya pasti protes ke Tuhan, mengapa
aku cuma diberi kemampuan seujung kuku dibanding mereka ya Tuhan? Ups!
Nah,
kalau sudah begitu, siapakah yang salah? Siapakah yang patut disalahkan? Apakah
Sobat berhak sakit hati?
Apabila kita
ingin hebat seperti mereka dengan
kemampuan dan semangat kerja yang lebih tinggi ya kita harus usaha dong. Jangan menyalahkan mereka terus.
Mereka toh tetap berusaha meski kemampuan mereka berlebih. “Success is 1% genius and 99% perspiration”,
begitulah kalimat bijak dari seorang ilmuwan yang berkali-kali menemui kegagalan
sebelum berhasil menemukan bola lampu, Thomas Alva Edison. Artinya, bakat tidak
akan berarti apa-apa tanpa usaha. Allah Swt.
tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka sendiri tidak mengubahnya.
Jadi, jelas kan? So, tetep semangat ya!
Magabut
Tidak asing dengan istilah magabut kan? Magabut alias makan gaji buta lekat
dengan orang-orang yang tidak ingin terlalu banyak mengeluarkan tenaga, waktu
dan pikirannya namun ingin mendapatkan hasil atau keuntungan yang
sebesar-besarnya (kayak prinsip
ekonomi ya? Hehehe). Males banget nih
punya rekan kerja atau atasan seperti ini. Padahal sering kali pekerjaan dilakukan bersama dalam
satu tim. Tapi, jadinya kita bekerja lebih berat dari yang lain dengan gaji
atau bonus yang relatif sama (gondok banget ga
sih?).
Sumber: http://wanna-joke.com/wp-content/uploads/2014/02/funny-picture-job-money-lazy.jpg Gambar 1. Kebiasaan 'Asik' Sang Magabuters |
Diakui ataupun
tidak sebagian Sobat
pasti punya pemikiran ngapain gue mesti
kerja susah-susah toh bayarannya juga sama dengan yang ga kerja? Kalau
kita terbawa oleh pemikiran tersebut dan kita merealisasikannya dalam kehidupan
nyata, lalu kita pasti akan menjelma menjadi magabuter juga. Ih, jangan sampai deh. Ya ga, Sobat? Kita boleh merasa iri, sakit hati,
tapi jangan sampai sakit hati kita semakin menumpuk menjadi gundukan pasir yang
tersedimentasi sehingga membuat kita menjadi calon magabuters selanjutnya. Nah
loh,
terus gimana dong caranya?
Untuk mengatasi
hal itu, gampang kok caranya, tinggal simak tips berikut ini:
1.
Jangan melihat para magabuter dari sisi
gaji/pendapatan.
Kalau mikirin hal itu sih pasti sakit hati kita karena kita merasa diperlakukan tidak adil.
Tapi lebih tekankan pada pencapaian kerja. Lihatlah hal itu dari sudut
prestasi. Dengan gaji/pendapatan yang sama, para magabuters pasti tidak
mencetak prestasi apapun dibandingkan mereka yang bukan termasuk golongan
magabuters. Coba pikir sekarang, capaian apa yang dapat magabuters banggakan di
depan atasan atau banyak orang? Kalaupun magabuter itu satu tim dengan Sobat,
tentu mereka tidak akan tahu-menahu dengan pekerjaan yang tiba-tiba saja beres
tanpa campur tangan mereka.
Lalu, apa
yang dapat mereka jelaskan mengenai pekerjaan itu di hadapan orang lain? Non sense. Kalau sudah begitu, akankah
orang lain bersedia memberikan kepercayaan kepada mereka?
2.
Beri efek jera kepada mereka.
Sebagai seorang hamba yang wajib menolong saudara
yang lain dari keburukan, Sobat perlu berbuat sesuatu tentang malpraktik ini.
Karenanya, sakit hati yang pantas Sobat rasakan sebenarnya adalah sakit hati
bila Sobat tidak bisa berbuat apa-apa tentang malpraktik magabut. Nah, salah satu cara yang dapat Sobat
lakukan adalah dengan memberikan
efek jera.
Efek jera yang dapat dirasakan oleh magabuter datangnya
bisa saja dari orang dengan
pangkat, kedudukan atau jabatan
yang
lebih tinggi dari magabuter itu sendiri. Utarakan isi hati Sobat kepada atasan
Sobat jika atasan Sobat belum mengetahui adanya magabuters di perusahaannya. Jelaskan
saja alasan realistis Sobat sampai Sobat menamai mereka magabuter. Hal ini
dilakukan dengan harapan agar atasan Sobat dapat menindak tegas para
magabuters. Siapa juga sih yang mau
punya karyawan magabuters bin malas?
Oia,
supaya tidak menyalahi kode etik atau dituduh memfitnah, jangan sebut nama mereka
kecuali memang diminta. Biarkan
atasan Sobat menyelidiki kebenaran informasi dari Sobat. Jika terbukti benar,
Sobat telah melakukan suatu tugas mulia bagi perusahaan tempat Sobat bekerja. Dan
setelahnya, Sobat tak perlu sakit hati lagi.
Korban Gosip
Jangan salah, kita menjumpai gosip tidak
hanya di dunia entertainment saja. Dunia karier kita pun berpotensi memunculkan letupan bahkan ledakan gosip. Entah itu
berkaitan langsung dengan suatu proyek kerja, percintaan atau masalah sepele seperti tampang bete
si bos dan sebagainya. Well, mungkin
banyak yang sepakat “desas-desus” yang ringan memang diperlukan untuk mencairkan
suasana kerja agar tidak terlalu kaku. Namun, jika sudah menyangkut nama baik dan
mengusik kenyamanan orang yang menjadi “korban gosip”, hal tersebut harus
menjadi perhatian khusus. Jangan sampai kita menyakiti orang lain dengan
perkataan atau hinaan yang dapat memojokkan seseorang.
Oke, sangat
beruntung dan wajib disyukuri ketika kita bisa menghindarkan diri dari
kerumunan para gossipers untuk
menggosipkan seseorang. Tapi, apa jadinya kalau ternyata kitalah yang
digosipkan? Duaaarrrrrr! Mungkin emosi adalah jawabannya. Dada naik turun,
napas terlihat cepat bin capek, muka merah, mata melotot, bibir terlihat maju 3
cm, lalu melabrak mereka habis-habisan. Setelahnya, selesaikah masalahnya? Bisa
saja saat kita berlalu dengan kemarahan yang sudah tertumpah ruah di hadapan
mereka, mereka justru semakin merapatkan barisan menggosipkan kita lagi. Nah loh, kapan selesainya? Hihihiiii...
Senior-Yunior vs Jabatan
Stereotipe lain yang sering
diagungkan di kalangan perusahaan maupun
lembaga mana saja, terutama di dunia kerja adalah kedudukan yang tidak seimbang
antara yunior dan senior. Hal ini masih dianggap wajar jika pengaplikasiannya
masih berada di jalur yang semestinya. Namun, ada kalanya pihak senior
memanfaatkan label senioritas yang melekat pada dirinya untuk menganggap
rendah, mengultimatum, mengadili, maupun menghukum si yunior. Lebih ekstrem lagi, senior terkadang dianggap lebih
memiliki ‘kekuasaan’ dan ‘kewenangan’ yang berlebihan daripada yunior.
Senior-yunior di
sini bisa dilihat dari berbagai macam aspek, bukan hanya dari usia, tetapi bisa
saja dari lamanya
kerja. Si ‘muda’ dan si ‘hijau’ dianggap minim pengetahuan daripada si ‘tua’
dan si ‘kuning’. Kesadaran ini boleh saja muncul asalkan kemudian dibarengi
dengan sikap menghargai si ‘muda’ yang kurang tahu, mengajari si ‘hijau‘ yang
minim pengetahuan, dan belajar berkoordinasi bersama mereka dengan baik. Hal
ini penting untuk menghindari gap yang sering kali muncul antara senior dan
yunior. Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya bilamana kesenjangan antara senior
dan yunior terbentuk. Pasti suasana kerja menjadi tidak lagi kondusif, tidak
menyenangkan, dan kurang bersahabat.
Sumber: https://a2ua.com/company/company-005.jpg Gambar 2. Hierarki Senioritas |
Si Fulan,
misalnya, merasa dirinya dianggap remeh dan dipandang sebelah mata oleh rekan
kerjanya yang sudah senior karena baru kemarin bekerja. Anak ingusan, bisa apa sih? Inilah hal ‘tak menyenangkan yang kerap
kali saya dengar dari mulut teman-teman saya yang baru saja diterima bekerja. Sebenarnya ini adalah hal biasa. Ada
benarnya juga anggapan seperti itu apalagi jika yang baru saja bekerja tersebut
baru saja lulus sekolah (kuliah) kemarin sore.
Yang menjadi
masalah adalah bagaimana lanjutan sikap antara keduanya (senior vs yunior). Apakah senior merasa care dan bertanggung jawab atas perkembangan diri si yunior atau
tidak? Dan bagaimana respons si yunior ‘dibegitukan’ oleh si senior?
Berkaca dari
pengalaman, harapan si Fulan sebagai
yunior adalah mendapatkan bimbingan dan pemahaman dari senior. Jika ini tercapai
dan Fulan bisa belajar lebih banyak dari senior maka hal-hal seperti ini bukan
lagi menjadi sebuah permasalahan.
Akan tetapi,
jika yang terjadi tidak demikian alias si senior tidak memberikan pengarahan
apa-apa dan malah menganggap si
Fulan
tidak pernah bisa apa-apa, jangan salahkan apabila kesenjangan hubungan antara
Fulan dan seniornya berangsur terbentuk. Apalagi, jika Fulan kemudian tidak
pernah berani bertanya atau meminta pengajaran dari seniornya. Dengan begini,
kemampuan Fulan sulit berkembang sehingga perusahaan atau instansi tempatnya
bekerja juga tidak bisa lebih produktif lagi. Rugi banget, kan?
Adalah baik dan
sangat penting apabila senior sebagai orang lama ‘penghuni’ perusahaan menyambut
dengan tangan terbuka, merangkul dan mengenalkan yuniornya pada suasana kerja
di perusahaan atau kantor itu. Memberikan sedikit ‘perhatian’ lebih kepada
yunior di masa-masa awal kerjanya bisa mendorong yunior merasa diterima dan
tidak merasa sendiri di tempat kerja tersebut. Dengan demikian, sedikit demi
sedikit yunior pun akan belajar hal-hal baru dengan bersenang hati.
Bukan hanya
senior yang bisa menciptakan kehangatan kerja dengan yunior. Akan lebih baik
lagi kiranya yunior juga turut aktif membangun persahabatan dengan seniornya
sebagai mitra kerja yang profesional. Selain menunggu bola, yunior pun turut
menjemput bola dari senior. Artinya, yunior harus aktif bertanya tentang
apa-apa yang tidak dimengertinya dan mempelajari semua hal yang diajarkan
dengan sungguh-sungguh.
Perlu saya
tambahkan bahwa
biasanya
yunior tidak berani melakukan penjemputan bola adalah karena rasa takut, sungkan, gak enak, malu dan sejenisnya. Padahal
seharusnya yunior tidak perlu malu, asalkan hal tersebut dilakukan dengan sopan
dan penuh kejujuran, senior akan bersedia bahkan senang hati menerima
pertanyaan tersebut. Jika yunior cenderung pasif, senior pun bisa-bisa mengira
yuniornya sudah menguasai dan tahu semuanya. Akibatnya,
pekerjaan yunior tidak bisa berjalan maksimal yang pada akhirnya dapat melemahkan
produktivitas perusahaan.
Kesimpulan
Unlimited
broken heart itu memang ada. Bahkan, setiap manusia
memiliki potensi untuk selalu sakit hati. Namun, keburukan ataupun sakit hati yang
berlebihan dalam diri merupakan manifestasi dari cara berpikir yang salah. Tidak
adanya kontrol dalam diri menyebabkan seseorang senantiasa terjebak dalam sakit
hati yang parah.
Jika kebaikan
itu sedang menyapa orang lain, mengapa kita sakit hati? Kita berpantas sakit
hati apabila ada yang salah dengan diri kita, begitu pula dalam karier. Penghargaan dari pimpinan anggaplah
sesuatu yang memang sudah sesuai dengan kadar kemampuan Sobat. Jika belum
sesuai, beranikan diri meminta kepada pimpinan dengan cara yang sopan sebab
dalam hal ini Sobat memang perlu sakit hati. Bukan sakit hati kepada pimpinan,
melainkan sakit hati karena Sobat belum (tidak) mampu meminta hak Sobat sebagai
penerima penghargaan yang sesuai dengan loyalitas dan etos kerja Sobat.
Para magabuters
pun tidak layak menyakitkan hati Sobat. Magabuters eksis bukan karena kesalahan
Sobat. Ia ada dengan sendirinya, melalui pemikiran-pemikiran yang sangat
mengagungkan kehidupan praktis dan instan. Dalam hal ini, yang layak membuat
Sobat sakit hati adalah jika Sobat belum melakukan apa-apa untuk memberantas
praktik-praktik magabut.
Dijadikan objek gosip
di lingkungan kerja ada kalanya sangat menyebalkan. Namun, itu tidak lantas
menyilakan Sobat untuk sakit hati kepada rekan kerja. Yang dikhawatirkan, sakit
hati itu akan memicu Sobat menggosipi balik kawanan Sobat itu. Lalu, apa
bedanya Sobat dengan para gossipers?
Bukan suatu
kesalahan apabila Sobat saat ini sedang menyandang gelar ‘yunior’ karena nanti
akan ada saatnya Sobat menggantinya dengan label ‘senior’. Yunior dan senior
hanyalah masalah waktu dan kedewasaan. Lantas, sudah siapkah Sobat menjadi
yunior sekaligus senior yang baik?
Oleh karena itu,
sebenarnya unlimited broken heart (sakit
hati) itu ditujukan untuk mengingatkan seorang manusia tentang hakikat
penciptaannya. Manusia berhak untuk
bersakit hati tentang kebaikan yang tidak dilakukannya. Dan seorang manusia tidak pantas bersakit hati atas anugerah
kenikmatan pada diri orang
lain
yang tidak ada pada dirinya.
*****
*****
Comments
Post a Comment