Membacai novel-novel buah karya Mira W. merupakan hobi saya sejak SMP.
Kalau ada duit dan sedang ingin mengonsumsi novel bermutu, tentu pilihan saya
jatuh pada novel karangan Mira W.
Nah suatu hari, saya membebaskan diri saya untuk memilih satu di antara
sekian banyak novel karangan Mira W. di sebuah toko buku. Saya mengharuskan
diri untuk hanya membeli satu buku karena selain ingin menghadiahi diri dengan
bacaan bermutu, saya juga belajar menerapkan gaya hidup sederhana, seimbang,
dan tidak berlebihan. Pendek kata, kemampuan dompet saya memang cukup untuk
satu buku saja waktu itu wkwkwkwk.
Akhirnya, satu pertanyaan klasik pada sebuah blurb dengan judul Cinta
Sepanjang Amazon mampu menyita perhatian saya, “.... Tetapi ketika Vania
ingkar janji untuk kedua kalinya, masih adakah maaf baginya? .....”
Saya pribadi sempat terheran-heran dengan kalimat seperti itu di zaman
modern seperti ini. Sebuah pertanyaan yang sungguh mengusik jiwa. Yang tidak
terpikir oleh saya adalah masih sempatkah seseorang ingkar janji (makna lain
yang saya yakini ialah ‘selingkuh’) di zaman yang serba sibuk ini? Dan apakah
akal yang telah Tuhan anugerahkan ini tidak mampu mencegah seseorang untuk berselingkuh?
Atau terlampau muliakah hati sang pasangan yang dikhianati sampai-sampai
ia—jika menilik secara langsung kalimat pertanyaan tersebut—rela memaafkan
pasangannya yang selingkuh untuk pertama kalinya sampai-sampai pasangannya
telah melakukan selingkuh untuk kali kedua?
Namun lagi-lagi pikiran ngawur itu segera saya singkirkan. Saya percaya
tentu ada suatu alasan mengapa seseorang berbuat sesuatu. Barangkali ada hal
lain yang tidak kita ketahui yang justru menjadi landasan fundamental keabsahan
perilaku seseorang. Ah, manusia.. Begitu cepatnya mengukir tuduhan dalam
pikiran.
Dan benar saja. Setelah membacanya, memang ada persoalan yang membuat
Vania ingkar janji, bahkan untuk kali kedua. Dan jujur saya tergelitik untuk
menganalisisnya: Bukan untuk menceritakan kembali apa masalahnya, tetapi lebih
kepada mencari solusinya. Dan yap. Ada satu solusi klasik yang memang lupa
diterapkan oleh para tokohnya: kejujuran. Selalu begitu. Selalu seperti itu.
Apabila dicermati, semua persoalan yang diekspos dalam sinetron, ciklit,
novel, atau cerita-cerita remaja dewasa ini sebagian besar adalah akibat dari
adanya ketidakjujuran. Entah itu tidak jujur kepada orang lain, orang tua,
pasangan, guru, teman, diri sendiri atau bahkan kepada Tuhan. Atau
jangan-jangan, bersikap tidak jujur merupakan pengejawantahan dari sikap takut
dan pesimis? Entahlah.. yang pasti, Cinta
Sepanjang Amazon adalah salah satu dari sekian banyak mimikri kehidupan
yang sering kali bersinggungan dengan diri kita. Entah kita harus mengalaminya
atau tidak, semua itu tergantung pada kemampuan kita untuk mengatasinya.
Apabila kita telah tahu bahwa memakai narkoba itu buruk akibatnya, maka kita
pasti akan menghindarinya. Pun begitu dengan ingkar janji (selingkuh).
Ah, ‘tak usah berlama-lama dengan kasus seperti ini. Solusinya toh sudah
jelas. Bahwa kita—termasuk kadang-kadang saya—terlampau takut untuk bersikap
jujur. Padahal dengan jujur, walau terkadang menyakitkan, membuat diri
tercabik-cabik, dihujat massa, akan mampu menyelesaikan persoalan saat itu
juga. Bandingkan jika kita tidak jujur: sekarang kita aman, tetapi apabila
ketahuan (dan pasti ketahuan sebab bau busuk begitu menyengat), toh tetap akan
menyakitkan, membuat diri tercabik-cabik, dan tentu dihujat massa. Yang lebih
parah, kita telah dengan sia-sia menghabiskan waktu untuk hidup dalam
kepura-puraan, ketidakjujuran, dan kebohongan. Naudzubillah... Semoga kita, teman, sahabat, saudara dan keluarga
kita selalu dikuatkan untuk mampu menghindarkan diri dari hal-hal sedemikian.
Aamiin.
Kembali ke persoalan selingkuh, ada satu pendapat bijak (cieee) yang
saya pikirkan: bahwa kesempatan pun tidak akan mampu membuat seseorang
berselingkuh atau menyelingkuhi sebab berlaku setia adalah sebuah pilihan.
Yoyoyooo... mari berlaku jujur (termasuk s-e-t-i-a)!
Comments
Post a Comment