Pengalaman dan Olah Rasa Menanggung Rasa Sakit Saat Awal-Awal Menyusui

Si kecil saat berusia empat hari.
No edit, tapi kok kelihatan gede banget ya
Luka.. Perih.. Sakit...

Barangkali tiga kata itu cukup mewakili apa yang kurasa saat awal-awal menyusui si bayi. Begitu mulut mungilnya menancap tepat di payudaraku, aku mulai berkuat. 

Sedotan pertamanya adalah awal sembilu yang kurasa merajai tubuh. Menahan napas, menutup mata, menggigit bibir, dan merejangkan kaki spontan kulakukan untuk mengimbangi rasa sakit itu. 

Detik di mana si bayi menelan air susu ke tenggorokannya adalah detik ketika aku bisa bernapas lega dan tak lagi menahan rasa sakit. Namun detik berikutnya saat mulut mungilnya melakukan gerakan menyedot lagi, aku mulai menahan sakit lagi. Begitu terus berulang-ulang. 

Jangan tanya berapa menit itu terjadi. Durasinya bahkan dapat menyentuh hitungan jam, apalagi pada saat malam. Saat yang lain bersiap untuk asyik dibuai mimpi, aku bersiap menguatkan diri dibuai oleh rasa sakit kala menyusui. Ketika subuh menjelang, bayiku baru terlelap, menandakan sesi menyusu yang 'mengasyikkan' itupun berakhir. 

Kurang lebih tiga minggu lamanya hal ini kurasa. Setelahnya, rasa sakit itu berangsur menghilang walau sesi menyusui yang menyebabkanku begadang di waktu malam tetap berlangsung hingga dua minggu berikutnya.

Di tengah deraan rasa sakit yang kualami saat proses menyusui ini, sesekali sempat terbesit keinginan untuk diam-diam memberinya sufor atau tajin lebih banyak sehingga ia akan lebih sedikit menyusu. Dengan begini, aku tidak akan merasakan sakit dalam jangka waktu lama sebab durasi proses menyusui akan menjadi lebih pendek. 

Namun.. Apa daya.. Rupanya, Allah swt. tidak menghendaki ide ngawur ini untuk terlaksana. Pikiran warasku tetap diaktifkan-Nya sebagai perlawanan terhadap hasrat tidak bertanggung jawab itu.

Entah hati, entah pikiranku berkata: Mana tega kusubkontrakkan asupan si kecil dengan tajin/sufor sementara asiku keluar? Di mana tanggung jawabku kepada Sang Khalik yang mengizinkan air susuku untuk keluar jika aku malah memberinya asupan selain asi hanya karena aku enggan menerima rasa sakit saat menyusui? 

Ya ya, kuakui ada rasa tidak tega dalam hati. Setidaknya, saat kulihat ada bayi dalam dekapan yang menggantungkan asupan nutrisinya dari tubuhku. Bayi lucu yang belum tahu apa-apa, yang bahkan belum bisa protes saat mau diberi minum apa. Bayi mungil tidak berdaya yang pasrah meneguk apa saja cairan yang disodorkan ke mulutnya. 

Apalagi di tengah aktivitas menyusunya, si bayi sesekali menatapku dengan mata beningnya. Kesyahduan segera menyergap hatiku kala mata kami bertemu. Bagiku, tatapan bening itu rasanya lebih menyerupai permohonan izin dan ungkapan terima kasih karena aku telah memberikan salah satu haknya: air susu ibu. 

Nyess.. Hati ini meleleh. Haru. Air mata yang selama ini kubendung rapat, merembes tanpa permisi. Air mata yang selama ini selalu menang melawan rasa sakit saat menyusui, ternyata tunduk, bertekuk lutut pada rasa haru seorang ibu terhadap sang buah hati. Sejak saat itu, menyusui, bagiku, menjadi salah satu momen terindah sepanjang perjalananku menjadi seorang ibu.

Aku masih ingat ketika si bayi berusia tepat seminggu dan harus dirawat selama semalam saat bilirubinnya dinilai tinggi oleh dokter. Adalah hal yang sangat menguras emosi melihatnya menangis meraung-raung saat disinar dalam sebuah kotak kaca kecil dalam keadaan telanjang. Hanya diaper dan penutup mata sajalah benda yang melekat di tubuhnya.


Pada suatu kunjungan, suster mengangkat tubuh mungil bayiku dan membalutnya dengan kain bedong lalu menyerahkannya kepadaku untuk kususui. Aku yang masih merasakan sakit saat menyusui berpikiran apa ada yang salah dengan posisiku saat menyusui. Mungkin dengan posisi yang lebih benar, sakit itu tidak akan kurasa.

Lugas aku bertanya, "Ini bagaimana caranya (menyusui) ya, Sus?" Suster muda itu tersenyum,

lalu memosisikan tangan kiriku sedemikian rupa sehingga seluruh tubuh si bayi mampu kutopang sempurna. Setelah itu, tangan kananku di arahkannya menuju ke belakang badan si bayi, mulai pinggang hingga pantat bayi, persis seperti adegan memeluk. 

Berada dalam gendongan, tangis bayiku berangsur mereda. Kemudian, ia dongakkan kepalanya, menatapku sesaat. Jutaan syukur dan ucapan terima kasih seakan terpancar jelas dari mata beningnya. Ia seakan tahu bahwa ia tidak lagi sendiri, ada ibunya yang menemani, yang siap memberinya asi kapanpun ia ingini. 

Lagi-lagi aku dibuai oleh haru. Reflek, gendonganku menguat, kudekap bayi mungilku, kuciumi wajahnya. Pasrah, ia diam saja. Kedamaian seakan menyelimuti wajahnya. Mata binarnya berangsur terpejam, napasnya teratur. Tanpa kusadari, ia sudah terlelap bahkan sebelum mulut mungilnya sempat menyentuh payudara ibunya.

Oh, Nak.. Kenapa dengan tidak menyusu seperti saat ini kau gampang sekali tertidur? Sementara lima malam sebelumnya kau terus menyusu pada ibu selama berjam-jam agar bisa terlelap?

Sepintas kemudian aku teringat akan sebuah artikel yang pernah kubaca: Bahwa bayi baru lahir yang durasi menyusunya sangat lama terkadang bukan dikarenakan ia merasa lapar, tetapi karena ia ingin berada dekat dengan ibunya. 


Sontak aku mencerna ulang kata-kata artikel itu. Melihat apa yang terjadi dengan bayiku saat di ruang penyinaran, membuatku tersadar bahwa apa yang dikatakan oleh artikel itu kemungkinan benar. 

Sendirian di tempat asing----ruang penyinaran----tanpa ibu dan bapak atau orang terdekatnya membuat bayiku kesepian. Tidak ada kehangatan ataupun peluk kasih sayang seperti yang biasa ia dapatkan sehingga kedatangan kami adalah hal yang pastinya sangat ia rindukan.

Pengalaman ini serta rentetan rasa sakit, haru, dan serangkaian olah rasa yang kulakukan sejauh ini semakin menguatkan hati dan pemahamanku: bahwa sakit pada saat awal-awal menyusui yang hanya bersifat sementara adalah hal wajar yang harus aku tanggung, demi buah hatiku.


Lagipula, rasa sakit itu akan hilang dengan sendirinya manakala luka dan lecet pada payudaraku sembuh. Ini wajar. Semua ibu menyusui merasakan ini.

Sungguh tak pantas jika ini kukeluhkan. Menyusui adalah proses, perlu dipelajari untuk menjadi mahir. Dan belajar untuk berani menanggung rasa sakit saat awal-awal menyusui adalah hal yang patut diperjuangkan. 

Comments