“Mbak pikir aku ini
orangnya gampang marah dan tersinggungan, ya?”. Jleb.
Kalimat sederhana namun
sarat makna itulah yang menyadarkanku. Ternyata overdosis perasaan bersalah diam-diam membiusku untuk memberi stigma buruk pada orang lain.
Jawaban spontan itu
mendorongku untuk mengelak, “Bukan.. Bukan itu yang kumaksud. Aku hanya tidak
enak saja kalau sampai kamu marah atau kesal terhadapku...”, tapi.. tidak..
semua itu hanya mampu terucap dalam hati. Sebuah pikiran yang jauh lebih
dahsyat mendominasi otakku ketimbang mulutku. Apalah artinya pembelaan jika hal
itu bermuara pada satu stigma negatif yang secara tidak sengaja kesematkan padanya.
Dari dulu aku paling
gampang merasa bersalah. Memang, kalau kesalahan besar apalagi sengaja
dilakukan sehingga menderitakan orang lain sih
wajar jika kemudian menimbulkan rasa bersalah yang teramat sangat. Namun bagiku,
kesalahan sepele dan tidak sengaja dilakukan pun turut sukses membuatku merasa
bersalah dari ubun-ubun hingga ujung kaki :D Aku ini memang mudah sekali merasa
bersalah. Jika dilombakan, mungkin aku sudah berhasil membuka museum untuk
setiap medali yang kudapat. Sigh.
Sebetulnya mempunyai rasa
bersalah itu baik sebab ia sering kali membantuku dalam beberapa hal, khususnya
menyadarkanku untuk selalu berusaha menghormati serta tidak menyakiti hati
orang lain. Namun, jika kadarnya terlalu berlebih, rasa bersalah malah membuat
diri ini tidak nyaman. Seakan selalu saja ada yang salah dengan perbuatan,
perilaku, perangai, atau perkataanku yang tidak berkenan di hati orang lain. Kalau
sudah begitu, aku akan terus memikirkannya.
Kepikiran, bahasa Jepangnya :D
Pemikiran seperti
itulah yang kemudian memaksaku untuk berandai-andai. Andai saja waktu itu aku tidak...(bla bla bla) pasti aku tidak perlu membuat
kesalahan seperti itu. Parahnya, angan-angan dengan istilah pengandaian itu
akan berujung pada sikap lupa untuk memaafkan. Dan efek domino yang dihasilkan
adalah keengganan untuk melakukan hal yang lain karena telah terjebak pada
kerangka pemikiran tersebut. Alhasil, tugas rumah terbengkalai, hal lain yang
perlu dipikirkan jadi terlupakan, dan skala prioritas kegiatan pun tidak
tertunaikan. Belum lagi, kealpaan dalam menunaikan kewajiban bagi diri sendiri
seperti menjadi tidak nafsu makan dan malas bergerak (beraktivitas) ikutan kompak memperpuruk kondisi diri
ini.
Seperti beberapa waktu
lalu, secara tidak sengaja aku melakukan suatu kesalahan yang sebenarnya
menurutku sangat sepele. Namun, karena aku (sekali lagi) mudah merasa bersalah,
maka aku berpikir bahwa hal sepele itu belum tentu sepele juga menurut temanku
itu. Akibatnya, aku minta maaf berkali-kali kepadanya karena meminta maaf
sekali dua kali menurutku kurang afdol
hehe.
Entah pada permintaan
maaf yang keberapa itulah kalimat “Mbak pikir aku ini orangnya gampang marah
dan tersinggungan, ya?” itu terlontar. Alamak!
Menohok sekali konten jawabannya!
Nah,
dari situ kemudian aku belajar bahwa sebetulnya merasa bersalah itu baik karena
kesadaran itu akan membimbing diri untuk meminta maaf pada yang bersangkutan—walau
kata ‘maaf’ tidak bisa memutar kembali waktu yang telah berlalu, ia menjadi
bukti tulus penyesalan diri sebab sejatinya janji untuk tidak mengulangi
kesalahan yang sama secara otomatis telah melekat di dalamnya. Namun, jika
salah dalam menempatkan, rasa bersalah itu justru akan menjadi senjata musuh
yang ampuh membius kita untuk berpikiran negatif kepada orang yang bersangkutan dengan menyematkan stigma negatif kepadanya tanpa kita sadari. Apalagi, overdosis perasaan bersalah juga dengan mudah merayu diri
untuk melakukan gencatan senjata terhadap hak dan kewajiban diri. Astaghfirullah...
Setelah kejadian itu,
sekarang aku berusaha untuk lebih mampu memaafkan diri sendiri setelah meminta
maaf atas kesalahan yang (insya Allah
tidak sengaja) kubuat, baik itu kepada orang lain ataupun kepada diri sendiri. Ah, damai sekali rasanya....
itu yang ngomong temen kantor mbak? :v bagus juga lompatan logikanya sampe bisa mikir kalau orang yang minta maaf terus ama dia sama aja nyangka dia pemarah dan suka tersinggung, hahaha. rasanya saya pernah denger kalimatnya dimana ya?
ReplyDeletembak mah orgnya emang suka gak enakan. -.-
mau tau siapa temenku yg bilang kayak gitu? mending gak usah deh dek.. dia soalnya aneh banget.. kalo disapa sm orang lain dia ga langsung nyahut malah org yg nyapa diliatin terus :P
Deleteiya ni skrg kn udah mengurangi sedikit rasa ga enakan biar ga ditindas meulu sm si Sherlock :P
Kayaknya saya kenal siapa... tapi bukan saya deh ;) saya 'kan anak manis, hahaha.
DeleteCieh, Sherlock -gigit meja- di tempat kerja mbak ada emang si doi? Nitip tanda tangan yak.
Omong-omong, Dee Alabaster itu saya juga, saya udah berhasil follow. Kemarin gak lihat gara-gara loadingnya belom selesai.
Iya dek kamu manis kayak gulali *puassss?
ReplyDeleteAda dong, dia suka ngumpet di balik pintu ruangan kerja hehee.. Btw, Dee Alabster nama apa itu?